yohanwibisono.com – Jadi kedukaan bangsa saat kualitas pendidikan Indonesia dipandang makin jeblok. Menurut launching dari PISA di penjuru dunia berkenaan kekuatan membaca, matematika, dan ilmu dan pengetahuan rangking Indonesia cukup memprihatinkan. Score Indonesia menurut PISA (Programme for International Student Assesment) ialah 371. Rupanya rangking itu jauh di bawah rerata PISA yakni 487.
Tahun 2006 pada rangking 393, selanjutnya tahun 2009 melorot jadi 383, tahun 2012 menurun jadi 382. Baru alami peningkatan tahun 2015 di angka 403, tetapi 2018 jeblok ke rangking 396.
Beberapa opini dari beberapa pegiat dan birokrasi pendidikan menjelaskan jika kenaikan kualitas pendidikan yang dirasakan susah, karena beberapa masalah pendidikan di Indonesia ini belum tersudahi. Seperti rendahnya kualitas guru, kurikulum, bujet pendidikan, dan peraturan pendidikan.
Ke-4 masalah itu sebagai factor penting dan jadi tanda-tanda carut-marutnya pendidikan di Indonesia dan keempatnya sama-sama berkaitan. Hal tersebut memengaruhi rangking pendidikan Indonesia di ajang dunia menurut PISA.
1. Kualitas Guru
Memang kita mengakui banyak guru Indonesia berkualitas, cuma persebarannya yang kemungkinan belum rata. Banyak tenaga guru yang ‘segar’ dari alumnus perguruan tinggi, tetapi rupanya alami shok saat hadapi pelajar di muka kelas.
Baca Juga : Ada 4 Alasan Mengapa Kalian Harus Kuliah Di Turki!
Ini muncul karena mereka di universitas diajar oleh dosen yang umumnya tidak pernah mengajarkan di muka kelas, cuma di muka mahasiswa. Hal tersebut terang membuat kekuatan pedagogik mahasiswa benar-benar kurang. Hingga dikerjakan program inisisasi untuk guru baru.
2. Kurikulum yang Sulit
Tidak bisa disangkal, kurikulum kerap jadi kambing hitam mengenai permasalahan pendidikan. Bahkan ada pemeo ‘ganti menteri tukar kurikulum’. Rupanya hal tersebut tidak semuannya salah.
Kita lihat kembali, Kurikulum 1975, di mana kurikulum ini lahir karena dampak ide di bagian management MBO (manajemen by objective). Sistem, materi, dan arah edukasi diperinci dalam Proses Peningkatan Mekanisme Perintahonal (PPSI), dikenali dengan istilah unit pelajaran, yakni gagasan pelajaran tiap unit ulasan.
Baca : Guru Berhenti Mengajarkan, Plt Bupati Tegal Ikhlas Jadi Guru Kejutan
Selanjutnya ditukar dengan 1984, yang disebutkan “Kurikulum 1975 ditingkatkan”. Status pelajar ditaruh sebagai subyek belajar. Dari memperhatikan suatu hal, mengategorikan, membahas, sampai memberikan laporan. Mode ini disebutkan Langkah Belajar Pelajar Aktif (CBSA).
Di tahun 1994 pemerintahan memadankan Kurikulum 1975 dan 1984. Tetapi, kombinasi di antara arah dan proses belum sukses. Hingga banyak kritikan banyak yang datang, disebabkan karena beban belajar pelajar dipandang terlampau berat, dari muatan nasional sampai muatan lokal. Misalkan bahasa wilayah, kesenian, ketrampilan wilayah, dan sebagainya.
Selanjutnya ada Kurikulum 2004, berbentuk Kurikulum Berbasiskan Kapabilitas (KBK), diikuti tahun 2006 ada Kurikulum Tingkat Unit Pendidikan (KTSP) yang serupa Kurikulum 2004. Tetapi mendekati 2013 KTSP dipandang tidak sanggup mengangkat kualitas pendidikan, selanjutnya ditukar Kurikulum 2013.
Awalannya dikagumi sebagai kurikulum yang lebih mendalam, tetapi sesudah dikerjakan banyak yang memandang terlampau berlebihan dalam faktor penilaian. Hal tersebut dipercaya tiap akhir semester, buku rapor tidak terbagikan, tetapi cuma helai nilai. Karena faktor penilian dalam kurikulum ini, demikian njlimet.
3. Biaya Pendidikan
UUD 1945 memercayakan jika bujet pendidikan minimum 20%. Hal tersebut membuat peningkatan bujet pendidikan yang cukup berarti semenjak tahun 2009. Akan tetapi, bujet yang besar rupanya belum sanggup mengusung peningkatan kualitas pendidikan negara ini.
Ada peluang besarnya bujet pendidikan tidak disertai dengan penskalaan desas-desus vital pendidikan. Banyak aktivitas yang belum terjamah seperti beragam aktivitas kenaikan kualitas guru dan pelajar seperti workshop, pelatihan-pelatihan, publikasi pendidikan dan lain-lain. Beberapa kegiatan kenaikan sumber daya manusia (SDM) itu belum tergarap dengan maksimal.
4. Peraturan Pendidikan
Jumlahnya Undang-Undang (UU) mengenai pendidikan rawan terjadi salah tafsiran dalam implikasi antarundang-undang. Timbulnya beberapa UU pendidikan sesudah UU Mekanisme Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tahun 2003 sampai tahun 2019 memberikan indikasi minimnya analisis dan perkiraan mengenai dinamika pendidikan.
Di mana bentang 2003-2019 minimal ada tiga UU pendidikan sesudah UU Sisdiknas 2003, selanjutnya UU Nomor 14 Tahun 2005 mengenai Guru dan Dosen, diikuti UU Nomor 12 Tahun 2012 mengenai Perguruan Tinggi, dan paling akhir UU Nomor 18 Tahun 2019 mengenai Pesantren.
Tersebut empat factor yang tentukan kenaikan kualitas pendidikan di Indonesia. Mudah-mudahan di depan kualitas pendidikan di Indonesia lebih bertambah. Diawali dengan peralihan Kurikulum 2013 yang dipandang mempunyai beban overload untuk guru dan pelajar. Cuma memburu kepandaian otak, ketrampilan dan religius, sementara kepandaian sosial dan budi perkerti terlewatkan.
Tinggalkan Balasan